Saturday, February 6, 2010

STRUKTUR DAN MAKNA PÊPINDHAN

Oleh:

Aloysius Indratmo

Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret

Abstract

Pêpindhan is a speech act expressing comparative meaning or explicit comparativeness. Its construction is formulated as follows: something being talked about (tenor) + a comparative marker + a vehicle. Comparative markers in pêpindhan can be a linguistic unity in the forms of: i) words having ‘like’ meaning, such as sasat, yayah, pindha, lir, kadya, kadi, kaya, pêrsis, or (ii) affixes attached in the vehicle in the form of nasal prefixes {N-}, {aN-} or infix {–um-}. Comparative marker in the form of word having similar meaning but not fully substitutable. This is due to different style contained in each comparative marker. Comparative marker is inherently inclusive in the vehicle of pêpindhan so that (i) between comparative marker and vehicle can not be inserted by another linguistic form, (ii) comparative marker is always in the initial position. Pêpindhan can be in forms of i) a simple sentence, ii) a subordinative compound sentence. When a tenor (in pêpindhan) in the form of a simple sentence is intelligible or contextually inclusive, it can be deleted. Such a pêpindhan has idiomatic meaning. There are utterances in the form of pêpindhan but the vehicle refers to something that has been mentioned by the tenor, therefore, they have no comparative meaning. Such utterances are known as pseudo-pêpindhan.

A. Pendahuluan

Bahasa Jawa mengenal adanya berbagai ragam bahasa. Salah satu ragam dalam bahasa Jawa itu adalah ragam sastra. Pandangan bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang khas sudah menjadi pengetahuan umum; terutama puisi dinilai menunjukkan pemakaian bahasa yang khusus, yang hanya dimanfaatkan oleh penyair.

Sejak dahulu keistimewaan pemakaian bahasa dalam sastra selalu ditonjolkan. Salah satu keistimewaan itu adalah adanya gaya (style) dalam mengungkapkan sesuatu. “Poetry is an utterance oriented towards the mode of expression” ‘Puisi adalah tuturan yang berorientasi pada gaya dalam berekspresi’ (Jakobson, 1968: 356). Sebenarnya apa yang disebut bahasa puitik itu bukanlah bentuk lain dari suatu bahasa, melainkan bahasa yang sama itu dipakai secara khas. Oleh karena itu, “literary discourse must be viewed as a use rather than a kind of language” ‘wacana sastra harus dipandang sebagai bentuk penggunaan bahasa daripada sebuah bentuk (lain) dari bahasa’ (Pratt, 1977: 16).

Gaya pemakaian bahasa pada karya sastra lahir karena di dalam proses kreatifnya pengarang memanfaatkan secara maksimal potensi-potensi, pola-pola, dan peluang-peluang yang ada di dalam bahasa. Konsep gaya bahasa pada mulanya dikaitkan dengan retorika daripada dengan puitika. Gaya bahasa (style) merupakan bagian dari teknik persuasi. Oleh karena itu, pada awalnya lebih banyak dibicarakan dalam kaitannya dengan orator (Hough, 1969: 1). Dalam teori ini hubungan antara bahasa dan gaya bahasa dianalogikan sebagai pakaian dan mode. “Language is the dress of thought, and style is the cut and fashion of dress ‘Bahasa adalah pakaian dari pikiran, dan gaya adalah potongan dan mode pakaian’(Hough, 1969: 3).

Dalam teori linguistik modern, seperti diungkapkan oleh Hockett dalam Course in Modern Linguistics, gaya lebih ditentukan oleh perbedaan struktur linguistik. “Two utterances in the same language which convey approximately the same information, but which are different in their linguistic structure, can be said to differ in style: ‘He came too soon’ and ‘He arrived prematurely’” ‘Dua tuturan yang membawa informasi yang kurang lebih sama, akan tetapi berbeda strukturnya, dapat disebut gaya yang berbeda, misalnya: ‘Ia datang terlalu cepat’ dan ‘Ia sampai terlalu awal’(dalam Hough, 1969: 6). Oleh karena itu, pada intinya gaya bahasa berkaitan dengan pilihan, “choice between the lexical and syntactic resources of a particular language” ‘pilihan antara sumber leksikal dan sintaksis dari suatu bahasa’ (Hough, 1969: 8).

Penelitian ini tidak akan meneliti semua jenis gaya bahasa dalam bahasa Jawa, akan tetapi hanya dibatasi pada pêpindhan atau simile ‘persamaan’. Gaya bahasa ini termasuk di dalam bahasa kiasan (figurative language atau têmbung éntar). Bahasa kiasan memiliki sifat yang umum, yaitu mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain (Altenbernd, 1970: 15).

B. Struktur Pêpindhan

1. Bentuk Formal Pêpindhan

Menurut Padmosoekotjo (1953: 110) pengertian pêpindhan adalah sebagai berikut.

Sing diarani pêpindhan iku unèn-unèn kang ngêmu surasa pêpadhan, irib-iriban, èmpêr-èmpêran. Dhapukaning ukara pêpindhan nganggo têmbung kaya, pindha utawa dasanamané. Tarkadhang ora ana têmbungé utawa dasanamané, nanging ana têmbungé andhahan kang kêna ditêgêsi kaya.”

‘Yang disebut pêpindhan adalah tuturan yang mengandung makna persamaan, kemiripan, perbandingan. Penyusunan kalimatnya menggunakan kata kaya ‘seperti’, pindha ‘seperti’ atau sinonimnya. Kadang-kadang tidak mempergunakan kata pindha ‘seperti’ atau sinonimnya tetapi dengan kata bentukan yang bermakna ‘seperti’.

Pêpindhan dapat juga disebut simile yakni perbandingan yang bersifat eksplisit (Gorys Keraf, 1990: 138; Cuddon, 1979: 275). Meminjam istilah dalam teori metafora, di dalam pepindhan terdapat “the thing we are talking about” yang oleh Richards disebut tenor, dan “that to which we are comparing it” yang disebut vehicle (dalam Ullmann, 1972: 213). Vehicle dapat juga disebut “wahana” (Edi Subroto, 1991: 16).

Beberapa contoh Pêpindhan adalah sebagai berikut.

(1) Yèn janma tan wrin ing subasita sasat iya nora wêruh ing rahsa kang nêm prakara.

‘Jika manusia tidak mengetahui sopan santun seperti tidak tahu enam jenis rasa.’

‘Orang yang tidak tahu sopan santun adalah orang yang tidak berperasaan.’

(2) Punang gambar wêwayangan yayah bisa ngling pribadi.

‘Gambarnya seperti dapat berbicara sendiri.’

‘Gambarnya benar-benar hidup.’

(3) Pamulu pindha sasangka ri sêdhêngé purnama.

‘Wajah seperti bulan pada saat purnama.’

‘Wajahnya bercahaya.’

(4) Layangan lir palwa kunthing.

‘Layang-layang seperti kapal kecil.’

‘Layang-layangnya sangat besar.’

(5) Mukanira kadya lènging guwa.

‘Wajahnya seperti pintu gua.’

‘Wajahnya melongo saja.’

(6) Layangan langkung pélag kadi wisma.

‘Layang-layang lebih bagus seperti rumah.’

‘Layang-layangnya besar dan sangat indah.’

(7) Atiné ( isih) lara kaya dijuwing-juwing.

‘Hatinya (masih) sakit seperti disobek-sobek.’

‘Hatinya (masih) sangat sakit.’

(8) Pêrsis iblis kambon gurihing gêtih, patrapé wong-wong kulit putih iku tambah ndadra.

‘Seperti iblis mencium gurihnya darah, tingkah orang-orang kulit putih itu menjadi-jadi.’

‘Tingkah orang-orang kulit putih itu semakin brutal.’

(9) Rambuté nyambêl wijèn.

‘Rambutnya seperti sambal wijen.’

‘Rambutnya sudah banyak ubannya.’

(10) Nétra andhik ngondar-andir bang angatirah.

‘Matanya tajam bercahaya merah seperti daun katirah.’

‘Matanya tajam bercahaya sangat merah.’

(11) Dumadi panca bakah ramé gumuruh.

‘Terjadi perang ramai seperti guruh.’

‘Terjadi perang yang suaranya sangat gaduh.’

Data di atas menunjukkan bahwa bentuk formal pêpindhan dibangun dengan konstruksi sebagai berikut.

Konstituen pertama +


Penanda perbandingan +

Konstituen kedua

Sesuatu yang sedang diperbincangkan

1. Berupa satuan lingual kata yang bermakna ‘seperti’ : sasat, yayah, pindha, lir, kadya, kadi, kaya, pêrsis.

2. Berupa afiks pada wahana: prefiks {N-}, {aN-}, infiks {-um-}.

Sesuatu untuk membandingkannya

Terbanding

Pembanding

Tenor

Wahana

Penanda formal perbandingan yang berupa kata adalah bagian yang inheren dari konstituen pembanding/wahana dan selalu terletak di depan atau sebelah kiri wahana. Oleh karena penanda formal perbandingan itu inheren dengan konstituen wahana, maka tidak dapat dipisahkan dengan konstituen wahana. Penanda formal perbandingan yang tak bisa dipisahkan dengan konstituen pembanding/wahana tampak jelas pada penanda perbandingan yang berbentuk afiks: {N-}, {aN-} dan {-um-} yang langsung disematkan pada konstituen pembanding/wahana, seperti contoh (9) – (11) di atas.

Bukti bahwa penanda perbandingan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan wahana adalah di antara penanda perbandingan dan wahana tidak dapat disisipi kata/frasa/klausa, atau penanda perbandingan tidak bisa diletakkan di belakang wahana. Sejalan dengan itu, maka dalam hal pembalikan susunannya juga tidak dapat semena-mena. Oleh karena itu, contoh berikut menjadi tidak berterima.

(1a) *Sasat yèn janma tan wrin ing subasita iya nora wêruh ing rahsa kang nêm prakara.

(1b) *Yèn janma tan wrin ing subasita iya nora wêruh ing rahsa kang nêm prakara sasat.

(1c) *Iya nora wêruh ing rahsa kang nêm prakara sasat yèn janma tan wrin ing subasita.

Susunan terbalik (inversi) kalimat pêpindhan adalah dengan meletakkan gatra kedua di depan gatra pertama. Jadi susunan terbalik kalimat (1) adalah sebagai berikut.

(1d) Sasat iya nora wêruh ing rahsa kang nêm prakara yèn janma tan wrin ing subasita.

Struktur pêpindhan dengan demikian dapat dirumuskan dalam bagan berikut.

Pêpindhan

Gatra Pertama:

Gatra Kedua:


Tenor

Penanda Perbandingan + Wahana

Penanda perbandingan pada umumnya memiliki makna sama yakni ‘seperti’ oleh karena itu pada dasarnya dapat saling menggantikan (bersubstitusi) akan tetapi dibatasi oleh adanya laras bahasa. Penanda perbandingan yang mengandung laras arkais tidak tepat jika disubstitusi dengan penanda perbandingan yang memiliki laras baru. Penanda perbandingan yang dapat digolongkan laras arkais adalah sasat, yayah, pindha, lir, kadya, {aN-}, dan {-um-}; sedangkan kadi, kaya, dan {N-} memiliki laras baru. Penanda perbandingan itu memiliki satu bentuk krama, yakni kados. Penanda perbandingan pêrsis juga mengandung laras baru akan tetapi berbeda dengan kadi dan kaya karena pêrsis lebih banyak digunakan dalam ragam lisan atau basa pacêlathon.

2. Bentuk Satuan Lingual Pêpindhan

Ditinjau dari bentuk satuan lingualnya, terdapat pêpindhan dapat berupa kalimat tunggal atau pun kalimat majemuk subordinatif. Beberapa data pêpindhan yang berbentuk kalimat tunggal adalah sebagai berikut.

(12) Atiné kaku kaya watu.

S P Ket. Similatif

‘Hatinya kaku seperti batu.’

‘Pendapatnya tidak dapat berubah.’

(13) Sorot mripaté tajêm kaya mata êlang.

S P Ket. Similatif

‘Sinar matanya tajam seperti mata elang.’

‘Sinar matanya sangat tajam.’

Pêpindhan yang berbentuk kalimat majemuk subordinatif tampak pada data berikut.

(14) Ombak sêgara kidul jumlêgur kêkêburan kaya ngambah atiné nom-noman kêkaroné.

‘Ombak laut selatan menggelegar bersaut-sautan seperti mengenai hati kedua muda-mudi itu.’

‘Hati kedua muda-mudi itu sangat gembira.’

Kalimat (14) disebut kalimat majemuk subordinatif karena kedua klausa pada kalimat itu memiliki kedudukan yang tidak setara dalam struktur konstituennya. Pada kalimat (14) klausa “kaya ngambah atiné nom-noman kêkaroné” yang memuat informasi sekunder berfungsi sebagai konstituen klausa “ombak sêgara kidul jumlêgur kêkêburan” yang memuat pesan utama. Hubungan semantis antarklausa itu adalah hubungan pembandingan, yaitu memperlihatkan kemiripan antara pernyataan yang diutarakan dalam klausa utama/tenor dan klausa sematan/wahana. Hubungan klausa pada kalimat (14) dapat dilihat dalam struktur berikut.

Kalimat (14)

Klausa Utama Klausa Sematan


Ombak sêgara kidul jumlêgur kêkêburan

S P Ket


kaya ngambah atiné nom-noman kêkaroné

Subordinator P O

Edi Subroto, dkk. (2003: 74-77) di dalam penelitiannya menyatakan, bahwa selain berupa kalimat terdapat juga pêpindhan yang berupa satuan lingual kata, frasa, dan konstruksi predikatif. Edi Subroto menampilkan contoh masing-masing sebagai berikut.

(15)Ambagaspati.

‘Seperti matahari.’

‘Orang yang mudah marah.’

(16)Kaya banyu lan lênga.

‘Seperti air dan minyak.’

‘Tidak ada kecocokan dalam persaudaraan.’

(17)Mumbul-mumbul kaya tajin.

‘Berbual-bual seperti air nasi mendidih.’

‘Orang yang tidak mau dikalahkan kehendak hatinya.’

Jika diamati secara lebih seksama, tampaklah bahwa tuturan (15) dan (16) hanya menampilkan wahana saja. Pêpindhan (15) dan (16) dapat disebut pêpindhan yang tidak lengkap karena tenornya dilesapkan. Tuturan (15) juga mengalami pelesapan, berbeda dengan (15) dan (16) yang melesapkan tenor, (17) yang disebut konstruksi predikatif itu melesapkan subjek kalimatnya. Bentuk lengkap ketiga tuturan tersebut adalah kalimat perbandingan di bawah ini.

(15a) Wêwatêkané ambagaspati.

‘Perwatakannya seperti mata hari.’

‘Orang yang mudah marah.’

(16a) Srawungé kaya banyu lan lênga.

‘Hubungannya seperti air dan minyak.’

‘Hubungan saudara yang tidak pernah akur.’

(17a) Karêpé mumbul-mumbul kaya tajin.

‘Kehendaknya berbual-bual seperti air nasi mendidih.’

‘Orang yang tidak mau dikalahkan kehendak hatinya.’

Meskipun tuturan (15), (16), (17) merupakan kalimat pêpindhan yang tidak lengkap, akan tetapi mitra tutur sudah dapat menangkap makna tuturan tersebut. Hal ini disebabkan karena tenor dan subjek pada tuturan tersebut sudah termuat di dalam konteks, atau sudah menjadi pengetahuan bersama. Pêpindhan yang terikat konteks atau sudah menjadi pengetahuan bersama itu memiliki sifat idiomatis.

Jika (15), (16) dan (17) tidak menampilkan tenor tuturan (18) berikut ini justru tidak berterima jika tenornya dilesapkan.

(18)Khodim takon kaya diênggo dhéwé.

‘Khodim bertanya seperti untuk diri sendiri.’

‘Khodim bertanya lirih.’

(18a) *Khodim Ø kaya diênggo dhéwé.

Tenor kalimat pada (18) tidak dapat dilesapkan karena belum diketahui oleh mitra tutur. Unsur itu bukan menjadi pengetahuan bersama antara penutur dan mitra tutur melainkan milik penutur secara khas. Dengan kata lain, tuturan (18) merupakan gaya yang menjadi ciri khas penutur tertentu. Oleh karena merupakan tuturan yang khas maka tidak memiliki sifat idiomatis.

3. Satuan Lingual Pengisi Tenor dan Wahana Pépindhan

Bentuk satuan lingual pengisi tenor dan wahana dapat berupa kata, frasa, dan klausa. Dalam kalimat tunggal (12) tenor berbentuk kata, wahana berbentuk kata. Dalam kalimat tunggal (13) tenor berbentuk frasa, wahana berbentuk frasa. Dalam kalimat majemuk (14) tenor berbentuk klausa (inti), wahana berbentuk klausa (sematan). Unsur Tenor yang berbentuk kata tidak menuntut harus berpasangan dengan wahana yang berbentuk kata pula, akan tetapi dapat juga berpasangan dengan wahana yang berbentuk frasa atau pun klausa. Demikian pula dengan tenor yang berbentuk klausa (inti). Hal ini tampak dalam bagan berikut.

Pêpindhan


Tenor

Wahana

Kata

Frasa

Klausa (inti)

Penanda perbandingan + Kata

Penanda perbandingan + Frasa

Penanda perbandingan + Klausa (sematan)

C. Makna Pêpindhan

Pêpindhan adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat eksplisit oleh karena itu makna yang disampaikan adalah juga makna perbandingan.

1. Jenis Pêpindhan

Berdasarkan bentuk atau hadir-tidaknya motif, pêpindhan dapat dibedakan menjadi pêpindhan yang eksplisit dan implisit. Pêpindhan yang bersifat eksplisit menghadirkan motif pada konstruksinya, sedang pêpindhan yang bersifat implisit tidak menyebutkan motifnya. Yang dimaksud dengan motif di sini adalah aspek arti yang bersama-sama dimiliki oleh wahana dan tenor. Berikut ini contohnya.

(19) Lir kaluwa awakira adus gêtih.

‘Seperti rebusan ketela dengan gula kelapa badannya mandi darah.’

‘Seluruh badannya terluka parah hingga penuh darah.’

Pada data pêpindhan (19) diperbandingkan antara awakira ‘badannya’ sebagai tenor dan kluwa ‘rebusan ketela dengan gula kelapa’ sebagai wahana. Tenor dibandingkan dengan wahana berdasarkan motif adus gêtih ‘mandi darah’ yang secara eksplisit disebutkan dalam konstruksi pêpindhan (19) tersebut. Jadi tubuh yang mandi darah itu mirip dengan ketela yang direbus dengan gula kelapa yang disebut kluwa karena sama-sama terbalut oleh cairan kental yang berwarna merah tua.

Data pêpindhan berikut ini berbeda dengan data yang telah disebutkan terakhir. Dalam data berikut motif persamaannya tidak disebut secara eksplisit.

(20) Désa Alang-alang kaya mati diuntal pêtêngé wêngi.

‘Desa Alang-alang seperti mati dimakan gelapnya malam.’

‘Desa Alang-alang sangat sepi malam itu.’

Dalam data (20) motifnya tidak hadir dalam konstruksi kalimatnya. Motifnya terbuka karena tidak dibatasi secara ketat oleh tuturan tersebut. Motif harus dicari sendiri oleh mitra tutur berdasarkan asosiasi wahana. Berdasarkan langkah itu maka motif ‘sepi’ dapat diterapkan dalam pêpindhan ini karena ‘sepi’ merupakan aspek arti yang dimiliki bersama oleh desa Alang-alang sebagai tenor dan mati ‘mati’ sebagai wahana. Jika motif ini diekspilistkan ke dalam tuturan maka pêpindhannya berbentuk sebagai berikut.

(20a) Désa Alang-alang sêpi kaya mati diuntal pêtêngé wêngi.

‘Desa Alang-alang sepi seperti mati dimakan gelapnya malam.’

‘Desa Alang-alang sangat sepi malam itu.’

Kedua jenis pépindhan di atas berbeda karena kehadiran dan ketidakhadiran motif di dalam konstruksinya. Hal ini juga membawa konsekuensi pada jenis kata yang menduduki tenor. Pêpindhan implisit, yang tidak menghadirkan motif di dalam konstruksinya, menampilkan tenor yang berupa kata atau frasa yang memiliki makna umum. Yang dimaksud dengan kata atau frasa yang memiliki makna umum adalah kata atau frasa yang maknanya terbuka, memiliki banyak kemungkinan. Data tuturan pêpindhan (20) di atas menunjukkan hal ini. Tenor pada tuturan (20) yakni Désa Alang-alang memiliki banyak kemungkinan arti yang berkaitan dengan suasana, misalnya ramai atau sepi. Frasa yang bermakna umum itu kemudian diwatasi oleh wahana yang hadir, yakni mati ‘mati’. Oleh karena itu wahana yang hadir harus memiliki makna khusus, yang memiliki kemungkinan makna lebih sempit daripada makna tenornya. Tuturan pêpindhan (20) Désa Alang-alang kaya mati di atas harus diberi arti ‘Desa Alang-alang sepi’. Sejalan dengan itu, maka di dalam tuturan pêpindhan yang implisit hubungan makna antara tenor dan wahana adalah hubungan atributif, wahana memberi atribut pada tenor dan sekaligus mewatasinya.

Pêpindhan eksplisit, yang menghadirkan motif di dalam konstruksinya, menampilkan tenor yang berupa kata atau frasa yang memiliki makna khusus. Kekhususan makna tenor itu terjadi karena sudah dibatasi oleh kehadiran motif. Data tuturan pêpindhan (19) Lir kaluwa awakira adus gêtih di atas menunjukkan hal itu. Tenornya: awakira adus gêtih ‘tubuhnya mandi darah’ sudah menunjukkan makna yang pasti. Pembaca atau pendengar tidak memiliki kebebasan untuk memberi makna. Wahana yang hadir juga memiliki makna yang khusus. Oleh karena itu hubungan makna antara tenor dan wahana menunjukkan hubungan similatif. Hal ini lebih jelas melalui bagan berikut.

Jenis Pêpindhan Berdasarkan Bentuk

Jenis Pêpindhan

Motif

Makna Tenor

Makna Wahana

Hubungan Makna Tenor dan Wahana

Eksplisit

Hadir

Khusus

Khusus

Similatif

Implisit

Tidak Hadir

Umum

Khusus

Atributif

Hal yang dibicarakan (tenor) oleh tuturan pêpindhan dapat meliputi berbagai macam. Demikian juga dengan wahana sebagai pembandingnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa tenor dan wahana dalam tuturan pêpindhan tak terbatas jenisnya akan tetapi dari data yang terkumpul, tenor dan wahana dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok tertentu.

Tenor pada tuturan pêpindhan dapat dibedakan menjadi kelompok yang membicarakan: keadaan manusia, baik keadaan fisik maupun keadaan psikis, aktivitas manusia, dan keadaan benda atau hal bukan manusia. Tenor keadaan fisik manusia dapat meliputi keadaan fisik seluruh tubuh, keadaan diri, keadaan anggota badan, dan hasil anggota badan.

Tenor keadaan fisik manusia dapat diperbandingkan dengan wahana yang berbentuk manusia, binatang, tumbuhan dan bagiannya, alam, benda, benda angkasa, tokoh wayang, makhluk halus, dewa-dewi. Tenor keadaan psikis manusia dapat diperbandingkan dengan wahana yang berbentuk manusia, binatang, tumbuhan dan bagiannya, alam, benda. Tenor aktivitas manusia dapat diperbandingkan dengan wahana yang berbentuk manusia, binatang, benda, benda angkasa, makhluk halus, dewa-dewi. Tenor keadaan bukan manusia dapat diperbandingkan dengan wahana yang berbentuk manusia, binatang, tumbuhan dan bagiannya, alam, benda, makhluk halus.

Jenis Pêpindhan Berdasarkan Isi

Wahana

Tenor

Manusia

Binatang

Tumbuhan

Alam

Benda

Benda Angkasa

Wayang

Makhluk Halus

Dewa

Dewi

Keadaan Fisik

ü

ü

ü

ü

ü

ü

ü

ü

ü

Keadaan Psikis

ü

ü

ü

ü

ü

Aktivitas

ü

ü

ü

ü

ü

ü

Keadaan bukan manusia

ü

ü

ü

ü

ü

ü

2. Hubungan Kemiripan Tenor dan Wahana Pêpindhan

Hubungan antara tenor dan wahana dapat dibangun berdasarkan kemiripan keadaan, kemiripan aktivitas, kemiripan perseptual, maupun kemiripan kultural. Kemiripan keadaan dapat dibedakan lagi menjadi kemiripan keadaan fisik dan kemiripan keadaan psikis. Kemiripan keadaan fisik dapat meliputi kemiripan bentuk, sifat, atau pun ukuran. Demikian juga dengan kemiripan aktivitas dapat dibedakan menjadi kemiripan aktivitas fisik dan aktivitas psikis.

3. Pêpindhan Semu

Yang dimaksud dengan pêpindhan semu adalah tuturan yang berkonstruksi pêpindhan, yakni dengan menggunakan penanda perbandingan, tetapi wahananya mengacu pada keadaan atau aktivitas yang disebut oleh tenor sehingga makna yang disampaikan bukan makna perbandingan. Pêpindhan semu ditandai oleh wahana yang berbentuk pronomina demonstratif tunjuk dan pronomina demonstratif penunjuk cara atau gabungan keduanya. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut.

(21) Wong swargi bapaké ki masiya kaku ning ora kêbangêtên kaya kuwi.

‘Orang almarhum ayahnya itu meskipun kaku tetapi tidak terlalu seperti itu.’

‘Almarhum ayahnya memang kaku tetapi tidak keterlaluan begitu.’

(22) Yagéné kowé saiki duwé pikiran kaya mangkono?

‘Kenapa kamu sekarang punya pikiran seperti begitu?’

‘Kenapa kamu sekarang punya pikiran begitu?’

(23) Bu Padma mung tumungkul diwêlèhaké kaya mangkono iku.

‘Bu Padma hanya menunduk dikatakan seperti begitu itu.’

‘Bu Padma hanya menunduk dikatakan demikian itu.’

Data tuturan pêpindhan (21) menampilkan wahana berkategori pronomina tunjuk kuwi ‘itu’. Wahana ini mengacu pada apa yang disebut tenor, yakni kêbangêtên ‘keterlaluan’. Data tuturan (22) menampilkan wahana yang berkategori pronomina penunjuk cara mangkono ‘begitu’. Wahana pada data tuturan di atas juga mengacu pada sesuatu yang diungkapkan oleh tenor. Demikian juga dengan wahana yang berbentuk kelompok kata gabungan dari kategori pronomina penunjuk cara dan pronomina tunjuk pada data (23).

Tidak adanya perbandingan dalam tuturan pêpindhan semu dapat dibuktikan dengan cara sebagai berikut. Pada tuturan pêpindhan semu yang wahananya berkategori pronomina demonstratif tunjuk, penanda perbandingan dapat diganti dengan pronomina demostratif penunjuk cara tanpa mengubah arti tuturan itu. Tuturan pêpindhan semu yang wahananya berkategori pronomina demostratif penunjuk cara atau gabungan pronomina demostratif penunjuk cara dan pronomina demonstratif tunjuk, penanda perbandingannya dapat dihilangkan. Data tuturan pêpindhan semu di atas dengan demikian memiliki makna yang sama dengan tuturan yang bukan pêpindhan berikut ini.

(21a) Wong swargi bapaké ki masiya kaku ning ora kêbangêtên ngono kuwi.

‘Almarhum ayahnya memang kaku tetapi tidak keterlaluan begitu.’

(22a) Yagéné kowé saiki duwé pikiran mangkono?

‘Kenapa kamu sekarang punya pikiran begitu?’

(23a) Bu Padma mung tumungkul diwêlèhaké mangkono iku.

‘Bu Padma hanya menunduk dikatakan demikian itu.’

C. Simpulan

Berdasarkan uraian ini dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut.

Pêpindhan adalah tuturan yang mengungkapkan makna persamaan atau perbandingan secara eksplisit sehingga konstruksinya dibangun dengan struktur: sesuatu yang sedang dibicarakan (= terbanding/tenor) + penanda perbandingan + sesuatu untuk membandingkannya (= pembanding/wahana).

Penanda perbandingan dalam tuturan pêpindhan dapat berupa satuan lingual dalam bentuk: 1) kata yang bermakna ‘seperti’ yakni sasat, yayah, pindha, lir, kadya, kadi, kaya, persis; atau 2) afiks (yang disematkan pada wahana) yang berupa prefiks {N-}, {aN-} atau infiks {–um-}. Penanda perbandingan yang berbentuk satuan lingual kata meskipun memiliki makna yang sama akan tetapi tidak sepenuhnya dapat saling bersubstitusi. Hal itu disebabkan karena adanya perbedaan laras bahasa yang termuat dalam masing-masing penanda perbandingan. Penanda perbandingan adalah bagian inheren dari wahana pêpindhan sehingga 1) di antara penanda perbandingan dan wahana tidak dapat disisipi satuan lingual lain; 2) penanda perbandingan tidak dapat diletakkan di belakang (sebelah kanan) wahana; 3) dalam susunan inversi penanda perbandingan selalu berada di awal kalimat.

Bentuk satuan lingual pêpindhan dapat berupa 1) kalimat tunggal; atau 2) kalimat majemuk subordinatif. Apabila tenor pada pêpindhan yang berbentuk kalimat tunggal sudah menjadi pengetahuan bersama atau sudah termuat di dalam konteks maka tenor tersebut dapat dilesapkan. Pêpindhan yang demikian memiliki sifat idiomatis.Satuan lingual pengisi tenor dan wahana pêpindhan dapat berupa kata, frasa, klausa, dan dapat saling bertukar pasangan.

Pêpindhan dapat dibedakan berdasarkan bentuk dan isi. Berdasarkan bentuk, pêpindhan dapat dibedakan menjadi: 1) pêpindhan ekspilisit dan 2) pêpindhan implisit. Pêpindhan eksplisit adalah pêpindhan yang menghadirkan motif pada konstruksinya, sedangkan pêpindhan implisit adalah pêpindhan yang tidak menghadirkan motif pada konstruksinya. Motif yang hadir dalam konstruksi pêpindhan merupakan bagian dari tenor dan berfungsi sebagai pewatas tenor. Pada pêpindhan eksplisit tenor memiliki makna khusus/pasti dan wahana juga memiliki makna khusus. Hubungan makna antara tenor dan wahana adalah hubungan similatif. Pada pêpindhan implisit tenor memiliki makna umum dan wahana memiliki makna khusus. Hubungan makna antara tenor dan wahana bersifat atributif. Berdasarkan isi, pêpindhan dapat dibedakan menjadi: 1) pêpindhan tentang keadaan manusia; 2) pêpindhan tentang aktivitas manusia; 3) pêpindhan tentang keadaan bukan manusia. Terdapat tuturan yang bentuknya berkonstruksi pêpindhan tetapi wahananya mengacu pada hal-hal yang sudah disebut oleh tenor sehingga tidak mengandung makna perbandingan. Tuturan yang demikian disebut pêpindhan semu.

DAFTAR PUSTAKA

Altenbernd, Lynn and Lislie L. Lewis. 1970. A Handbook for the Study of Poetry. London: Collier-MacMillan Ltd.

Cuddon, J.A. 1979. A Dictionary of Literary Term. Great Britain: W & J Mackey Limited.

Edi Subroto, D., dkk. 2003. “Kajian Etnolinguistik terhadap Paribasan, Bebasan, Saloka, Pepindhan, dan Sanepa”. Laporan Penelitian. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

Gorys Keraf. 1990. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Hough, Graham. 1969. Style and Stylistics. London: Routledge & Kegan Paul.

Jakobson, Roman. 1968. “Closing Statement: Linguistics and Poetics.” Dalam Thomas A Seboek, (Ed.) Style in Language. Cambridge, Mass: The M.I.T. Press.

Padmosoekotjo, S. 1953. Ngengrengan Kasusastran Djawa. Solo: Fadjar.

Pratt, Mary Louise. 1977. Toward a Speech Act Theory of Literary Discourse. Bloomington and London: Indiana University Press.

Ullmann, S. 1972. Semantics. An Introduction to The Science of Meaning. Oxford: Basil Blackwell.

Kepada Yth

Dewan Redaksi Jurnal Ilmiah Widya Warta

Unika Widya Mandala

Di Madiun

Dengan hormat.

Dengan ini saya kirimkan artikel ilmiah dengan judul STRUKTUR DAN MAKNA PÊPINDHAN dengan harapan dapat dimuat dalam Widya Warta. Jika artikel ini memang layak untuk dimuat saya mohon dapat dikirimi nomor bukti pemuatan.

Kemudian atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Surakarta, 29 November 2008

Salam

Aloysius Indratmo

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa artikel yang berjudul STRUKTUR DAN MAKNA PÊPINDHAN adalah karya asli tulisan saya sendiri. Artikel ini juga belum parnah dimuat dalam majalah ilmiah.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya ini tidak benar saya bersedia mendapatkan sanksi berdasarkan perundangan yang berlaku.

Surakarta, 29 November 2008

Yang membuat pernyataan

Aloysius Indratmo